Maka dimulailah cerita ini pada masa kegelapan, ketika lampu padam, dan ketakutan mencekam seisi desa. Pada saat itulah, aku mendapat pesan untuk membeli sekotak lilin sebagai penyelamat hidup teman- teman di pondokan KKN…..
Di tepi kolam ikan, di halaman bawah Green House, dengan ditemani suara jengkerik, aku dan dua orang lagi sedang mendiskusikan tentang kehidupan. Mulai dari tukang bakso yang kesasar di kuburan, keris bertahtakan permata yang dilarung ke laut kidul, hingga tengah malam berlari ke tepi selokan Van der Wick karena tersiksa oleh mimpi buruk. Semua itu begitu kental dengan mistik. Begitu mengerikan hingga bulu kuduk berdiri. Begitu menghanyutkan pikiran untuk makin paraniod menghadapi kegelapan yang mencekat. Aku ketakutan, pohon asem jawa yang berdiri tegak di hadapan kami tampak semakin angker. Suara air sungai yang mengalir tepat di samping Green house menambah aura mistisnya, mengingat bahwa konon di tempat tersebut ada genderuwo bersemayam. Hingga aku memutuskan untuk tidak kembali ke Grey House, memilih untuk menginap saja di sini, toh anak2 cewek di Grey House izin pulang.
Jam sudah menunjukkan pukul 2 malam, ketika diskusi itu diakhiri. Teman cewekku bergidik, kedinginan, dan segera menyembunyikan dirinya dalam selimut tebal di kamar. Karena penghuni kamar tidur cewek penuh, maka aku pun mengalah dan tidur di luar, di depan TV bersama seorang cewek lain yang memilih tidur diluar.
Mataku begitu sulit terpejam, aku tengkurap, aku miring, aku salah tingkah, namun tetap tak bisa tidur. Samar- samar aku mendengar suara motor dibawa turun ke halaman bawah (Green House punya semacam ruang bawah tanah dan halaman bawah. Hanya tangga tanah dengan batu sekedarnya saja yang menjadi jalan turun ke sana). Aku segera terjaga, duduk, mengamati keadaan sekitar, teman disampingku sudah terlelap, yang lain pun sudah terlelap di kamar. Kembali aku mencoba untuk tidur, tapi dinginnya lantai –aku tidur di atas selapis karpet yang lumayan tipis- semakin membuatku susah tidur. Ditambah lagi, hembusan angin malam menerobos masuk melewati celah di bawah pintu. Ough....aku menggigil kedinginan. Berkali- kali aku terjaga, memandang jam yang ku rasa begitu lambat bergerak. Badanku letih. Pikiranku lelah. Hingga adzan subuh berkumandang.
Selesai adzan subuh, aku bangun. Mengumpulkan seluruh kesadaran yang tersisa, aku memutuskan kembali ke Grey House. Aku membayangkan kamar yang aman, yang terlindung dari tiupan angin malam, dengan kasur, selimut, dan bantal yang nyaman. Ada sedikit penyesalan mengapa aku tak kembali saja tadi. Namun pikiran warasku mengajakku untuk segera pulang. Aku membuka pintu peralahan agar tidak membangunkan yang lain. Begitu aku berada di halaman, aku terkejut, karena motorku ada di sana. Di halaman bawah. Lagi- lagi pikiran warasku mengajakku untuk segera berusaha membawa motor itu ke atas, namun, tenagaku tak cukup untuk mendorongnya ke atas, bahkan meski aku menstater motor, pun aku tak sanggup menanjaki tangga batu itu. ” Ah...bodo amat, aku mau pulang,” teriakku dalam hati. Aku mengaduk2 isi tasku, mencari kertas dan spidol. Aku menulis pesan bahwa aku pulang ke Grey House dan menitipkan motorku di sana, ku tinggalkan kunci di samping TV, dan aku akan kembali nanti siang setelah aku puas tidur. Begitu rencanaku. Cerdas, pujiku pada diri sendiri.
Maka, dengan setengah mengantuk, aku berjalan menuju Grey House yang berjarak sekitar 500m dari Green House.
Celakalah aku, yang tak berfikir waras 100%. Aku tak peduli dan ingin segera tidur nyenyak, sampai- sampai aku melupakan rute pulang ku. Bahwa aku harus melewati kuburan di tikungan, melewati jembatan yang- kata kormasitku- pernah muncul penampakan pemancing ikan yang menghilang setelah ditengok kembali, melewati tepi sawah, kemudian jalan setapak di tepi lahan tebu. Dan langit masih gelap.
Aku menggigil, berdebar, hampir terbirit- birit lari balik saat gerbang kuburan itu sudah tampak. Namun aku kelelahan dan mengantuk. Aku terlalu lelah untuk berlari.. Aku bertekad, bahwa apa pun yang akan muncul tiba- tiba dari kuburan itu menghadangku, tak akan ku pedulikan. Dengan setengah mengigau aku berguman, ” Aku ga ganggu, cuma lewat, aku cuma pengen segera sampai untuk tidur....jadi...jangan ganggu aku ya..” (dalam hati aku baca ayat kursi sampai ga inget berapa kali).
Huff...kuburan berlalu...negosiasiku berhasil. Aku masih terkantuk- kantuk. Bahkan kesandung di jalan beraspal, tanpa tahu ada batu beneran atau tidak.
Rintangan kedua, Jembatan.. sial..lampunya mati. Meski ada lampu jalan yang besar di ujung tanjakan menerangi, namun lampu di tengah jembatan itu berarti sekali meningkatkan yaliku bila menyala. Kakiku gemetaran, sial! Andai aku bawa motor, sepeda atau sepatu jet. Sayangnya itu tak ada. Lebih naas lagi, seekor anjing berjalan mendekati ku dari arah yang berlawanan. Busyet...mana gue takut anjing lagi. Telapak tangan ku berkeringat, sial, sial, sial...aku ketakutan. Ku lewati jembatan itu, sementara anjing sialan itu berdiri mengamatiku di ujung jembatan yang lain. Argh!!!!! Aku cuma pengen tidur! Bodo amat ma anjing, setan, penampakan atau apa pun!!
” Ga usah ganggu aku, Njing! Aku ngantuk banget. Ga kasihan liat aku?! Sana geh pergi..! Awas loe gigit gue! Dosa loe ganggu orang lagi ngantuk!” gerutuku pada si anjing. Anjing itu menatap ku. Nyebelin deh, tatapannya prihatin! Sial! Tapi yang penting ga digigit, disalak, atu dikerjar.
Hampir sampai di ujung tanjakan, di bawah lampu desa, ada nenek- nenek berdiri. Hah...apa lagi niy? Moga bukan nenek jadi- jadian. Si Nenek pun menatapku cukup lama, meyakinkan dirinya sendiri apakah aku setan ato orang gila, subuh- subuh keliweran di jembatan angker. Emang dia kira aku ga kalah kagetnya?!? Hampir loncat jantungku tadi pas liat siluetnya. Untung otak waras ku ngasih tau, kalo itu nenek yang tinggal di rumah di ujung tanjakan. Sebagai anak KKN yang baik, maka aku pun menyapa, “ Nuwun, Mbah...Nderek langkung....” Sekitar tiga puluh detik setelah aku menyapanya (coba praktekkan seberapa lama jeda itu), barulah si nenek menjawab, “Ngih....” dengna nada 100% ragu.
Haaaah...perjalananku kok ga habis- habis siy? Perasaan kalo pake motor cuma 5 menit deh, ni jalan kaki aja rasanya berjam-jam.
Berikutnya, sawah dekat SD...Senyap....huhuhu...tu sawah kalo pagi buta gini malah bikin gentar aja yah?? Biasanya juga ga ada serem- seremya, begitu liat di sebelah kanan ku sawah membentang begitu luas...lagi- lagi kesadaranku menciut digantikan ketakutan..
” Hiks..hiks...aku pengen tidur....,” rengekku pelan.
Badanku makin letih saja, dan aku sama sekali tak peduli dengan tanaman tebu yang sudah menjulang tinggi di sekitar jalan setapak menuju Grey House. Bodo! Bodo! Bodo! Gw mau tiduuuuuurrrrrrrrrrrrrrr...........!!!!!!!!!!!
Oh...belum pernah aku merasa bahwa Grey House begitu berartinya selama ini. Ketika aku menjulurkan tanganku membuka pintunya, aku merasa sudah memenangkan lomba marathon 20 KM (lebay) dan dihujani pita warna warni.... Aku gembira, terharu, dan bahagia. Kasur di kamar cewek yang hangat langsung terbayang olehku....indahnya....bantalku...selimutku....Oh....nyamannya....
Aku mempercepat langkahku dan segera menuju kamar. Tapi, mataku yang sudah terlatih dalam gelap ini menangkap sebentuk objek samar-samar di atas kasurku. Penuh emosi, aku menekan sakelar lampu, dan ternyata.....
”Om????? Don???” seruku penuh kekecewaan yang berarti.
Mereka terkejut, dan reflek mencoba bangkit dari tidur...., ”Oh...bunda....” kata mereka kompak, lalu tidur lagi...
Seketika aku menitikkan air mata. Kasur kami (para cewek)...selimut kami...bantal kami...hiks...yang wangi....hiks.....dipake....hiks...seeediiiihhhnyaaaaa.............
”Huhuhuhu...hiks...hiks...hiks....kalian jahat.....” sambil menelan pahitnya kekecewaan dan kelelahan yang sangat, aku mengalah dan menempati kamar cowok yang kosong...hiks...yang berantakan....hiks...yang bau jamur.....hiks.....
” Hwa....hwaaaa......hwee.....hweeee........,” aku menangis kesal sambil melempar apa pun yang teronggok dengan anehnya di kasur cowok2 itu. Ku lempar sarung, celana dan kaos mereka ke pojokan kamar, aku ga peduli! Aku marah! Aku capek! Aku ngantuk! Dan aku membutuhkan tempat tidur.........Hweeee....ya sudahlah...yang penting tidur.....
Seketika aku menjatuhkan diri ke kasur, tak peduli apa pun, pokoknya aku cuma pengen tidur. Meski kenangan perjalananku yang panjang itu berputar kembali di otakku, meski perih...aku hanya memerlukan beberapa detik untuk terlelap dan tak ingat apa- apa lagi. Tidur pulas sampai puazzzzz!!!!
Setelah bangun...dua orang rekan satu sub unitku itu minta maaf dan menyesal. Mereka prihatin melihat diriku. Dan... mereka tertawa ngakak mendengar ceritaku. Bukan hanya mereka....semua anak di sub unit 1 dan 2 ngakak, ditambah bapak, ibu, mas, dan mbak pondokan, ngakak. NGAKAK SEMUA!!!!!! NGAKAK!!!! :(
Di tepi kolam ikan, di halaman bawah Green House, dengan ditemani suara jengkerik, aku dan dua orang lagi sedang mendiskusikan tentang kehidupan. Mulai dari tukang bakso yang kesasar di kuburan, keris bertahtakan permata yang dilarung ke laut kidul, hingga tengah malam berlari ke tepi selokan Van der Wick karena tersiksa oleh mimpi buruk. Semua itu begitu kental dengan mistik. Begitu mengerikan hingga bulu kuduk berdiri. Begitu menghanyutkan pikiran untuk makin paraniod menghadapi kegelapan yang mencekat. Aku ketakutan, pohon asem jawa yang berdiri tegak di hadapan kami tampak semakin angker. Suara air sungai yang mengalir tepat di samping Green house menambah aura mistisnya, mengingat bahwa konon di tempat tersebut ada genderuwo bersemayam. Hingga aku memutuskan untuk tidak kembali ke Grey House, memilih untuk menginap saja di sini, toh anak2 cewek di Grey House izin pulang.
Jam sudah menunjukkan pukul 2 malam, ketika diskusi itu diakhiri. Teman cewekku bergidik, kedinginan, dan segera menyembunyikan dirinya dalam selimut tebal di kamar. Karena penghuni kamar tidur cewek penuh, maka aku pun mengalah dan tidur di luar, di depan TV bersama seorang cewek lain yang memilih tidur diluar.
Mataku begitu sulit terpejam, aku tengkurap, aku miring, aku salah tingkah, namun tetap tak bisa tidur. Samar- samar aku mendengar suara motor dibawa turun ke halaman bawah (Green House punya semacam ruang bawah tanah dan halaman bawah. Hanya tangga tanah dengan batu sekedarnya saja yang menjadi jalan turun ke sana). Aku segera terjaga, duduk, mengamati keadaan sekitar, teman disampingku sudah terlelap, yang lain pun sudah terlelap di kamar. Kembali aku mencoba untuk tidur, tapi dinginnya lantai –aku tidur di atas selapis karpet yang lumayan tipis- semakin membuatku susah tidur. Ditambah lagi, hembusan angin malam menerobos masuk melewati celah di bawah pintu. Ough....aku menggigil kedinginan. Berkali- kali aku terjaga, memandang jam yang ku rasa begitu lambat bergerak. Badanku letih. Pikiranku lelah. Hingga adzan subuh berkumandang.
Selesai adzan subuh, aku bangun. Mengumpulkan seluruh kesadaran yang tersisa, aku memutuskan kembali ke Grey House. Aku membayangkan kamar yang aman, yang terlindung dari tiupan angin malam, dengan kasur, selimut, dan bantal yang nyaman. Ada sedikit penyesalan mengapa aku tak kembali saja tadi. Namun pikiran warasku mengajakku untuk segera pulang. Aku membuka pintu peralahan agar tidak membangunkan yang lain. Begitu aku berada di halaman, aku terkejut, karena motorku ada di sana. Di halaman bawah. Lagi- lagi pikiran warasku mengajakku untuk segera berusaha membawa motor itu ke atas, namun, tenagaku tak cukup untuk mendorongnya ke atas, bahkan meski aku menstater motor, pun aku tak sanggup menanjaki tangga batu itu. ” Ah...bodo amat, aku mau pulang,” teriakku dalam hati. Aku mengaduk2 isi tasku, mencari kertas dan spidol. Aku menulis pesan bahwa aku pulang ke Grey House dan menitipkan motorku di sana, ku tinggalkan kunci di samping TV, dan aku akan kembali nanti siang setelah aku puas tidur. Begitu rencanaku. Cerdas, pujiku pada diri sendiri.
Maka, dengan setengah mengantuk, aku berjalan menuju Grey House yang berjarak sekitar 500m dari Green House.
Celakalah aku, yang tak berfikir waras 100%. Aku tak peduli dan ingin segera tidur nyenyak, sampai- sampai aku melupakan rute pulang ku. Bahwa aku harus melewati kuburan di tikungan, melewati jembatan yang- kata kormasitku- pernah muncul penampakan pemancing ikan yang menghilang setelah ditengok kembali, melewati tepi sawah, kemudian jalan setapak di tepi lahan tebu. Dan langit masih gelap.
Aku menggigil, berdebar, hampir terbirit- birit lari balik saat gerbang kuburan itu sudah tampak. Namun aku kelelahan dan mengantuk. Aku terlalu lelah untuk berlari.. Aku bertekad, bahwa apa pun yang akan muncul tiba- tiba dari kuburan itu menghadangku, tak akan ku pedulikan. Dengan setengah mengigau aku berguman, ” Aku ga ganggu, cuma lewat, aku cuma pengen segera sampai untuk tidur....jadi...jangan ganggu aku ya..” (dalam hati aku baca ayat kursi sampai ga inget berapa kali).
Huff...kuburan berlalu...negosiasiku berhasil. Aku masih terkantuk- kantuk. Bahkan kesandung di jalan beraspal, tanpa tahu ada batu beneran atau tidak.
Rintangan kedua, Jembatan.. sial..lampunya mati. Meski ada lampu jalan yang besar di ujung tanjakan menerangi, namun lampu di tengah jembatan itu berarti sekali meningkatkan yaliku bila menyala. Kakiku gemetaran, sial! Andai aku bawa motor, sepeda atau sepatu jet. Sayangnya itu tak ada. Lebih naas lagi, seekor anjing berjalan mendekati ku dari arah yang berlawanan. Busyet...mana gue takut anjing lagi. Telapak tangan ku berkeringat, sial, sial, sial...aku ketakutan. Ku lewati jembatan itu, sementara anjing sialan itu berdiri mengamatiku di ujung jembatan yang lain. Argh!!!!! Aku cuma pengen tidur! Bodo amat ma anjing, setan, penampakan atau apa pun!!
” Ga usah ganggu aku, Njing! Aku ngantuk banget. Ga kasihan liat aku?! Sana geh pergi..! Awas loe gigit gue! Dosa loe ganggu orang lagi ngantuk!” gerutuku pada si anjing. Anjing itu menatap ku. Nyebelin deh, tatapannya prihatin! Sial! Tapi yang penting ga digigit, disalak, atu dikerjar.
Hampir sampai di ujung tanjakan, di bawah lampu desa, ada nenek- nenek berdiri. Hah...apa lagi niy? Moga bukan nenek jadi- jadian. Si Nenek pun menatapku cukup lama, meyakinkan dirinya sendiri apakah aku setan ato orang gila, subuh- subuh keliweran di jembatan angker. Emang dia kira aku ga kalah kagetnya?!? Hampir loncat jantungku tadi pas liat siluetnya. Untung otak waras ku ngasih tau, kalo itu nenek yang tinggal di rumah di ujung tanjakan. Sebagai anak KKN yang baik, maka aku pun menyapa, “ Nuwun, Mbah...Nderek langkung....” Sekitar tiga puluh detik setelah aku menyapanya (coba praktekkan seberapa lama jeda itu), barulah si nenek menjawab, “Ngih....” dengna nada 100% ragu.
Haaaah...perjalananku kok ga habis- habis siy? Perasaan kalo pake motor cuma 5 menit deh, ni jalan kaki aja rasanya berjam-jam.
Berikutnya, sawah dekat SD...Senyap....huhuhu...tu sawah kalo pagi buta gini malah bikin gentar aja yah?? Biasanya juga ga ada serem- seremya, begitu liat di sebelah kanan ku sawah membentang begitu luas...lagi- lagi kesadaranku menciut digantikan ketakutan..
” Hiks..hiks...aku pengen tidur....,” rengekku pelan.
Badanku makin letih saja, dan aku sama sekali tak peduli dengan tanaman tebu yang sudah menjulang tinggi di sekitar jalan setapak menuju Grey House. Bodo! Bodo! Bodo! Gw mau tiduuuuuurrrrrrrrrrrrrrr...........!!!!!!!!!!!
Oh...belum pernah aku merasa bahwa Grey House begitu berartinya selama ini. Ketika aku menjulurkan tanganku membuka pintunya, aku merasa sudah memenangkan lomba marathon 20 KM (lebay) dan dihujani pita warna warni.... Aku gembira, terharu, dan bahagia. Kasur di kamar cewek yang hangat langsung terbayang olehku....indahnya....bantalku...selimutku....Oh....nyamannya....
Aku mempercepat langkahku dan segera menuju kamar. Tapi, mataku yang sudah terlatih dalam gelap ini menangkap sebentuk objek samar-samar di atas kasurku. Penuh emosi, aku menekan sakelar lampu, dan ternyata.....
”Om????? Don???” seruku penuh kekecewaan yang berarti.
Mereka terkejut, dan reflek mencoba bangkit dari tidur...., ”Oh...bunda....” kata mereka kompak, lalu tidur lagi...
Seketika aku menitikkan air mata. Kasur kami (para cewek)...selimut kami...bantal kami...hiks...yang wangi....hiks.....dipake....hiks...seeediiiihhhnyaaaaa.............
”Huhuhuhu...hiks...hiks...hiks....kalian jahat.....” sambil menelan pahitnya kekecewaan dan kelelahan yang sangat, aku mengalah dan menempati kamar cowok yang kosong...hiks...yang berantakan....hiks...yang bau jamur.....hiks.....
” Hwa....hwaaaa......hwee.....hweeee........,” aku menangis kesal sambil melempar apa pun yang teronggok dengan anehnya di kasur cowok2 itu. Ku lempar sarung, celana dan kaos mereka ke pojokan kamar, aku ga peduli! Aku marah! Aku capek! Aku ngantuk! Dan aku membutuhkan tempat tidur.........Hweeee....ya sudahlah...yang penting tidur.....
Seketika aku menjatuhkan diri ke kasur, tak peduli apa pun, pokoknya aku cuma pengen tidur. Meski kenangan perjalananku yang panjang itu berputar kembali di otakku, meski perih...aku hanya memerlukan beberapa detik untuk terlelap dan tak ingat apa- apa lagi. Tidur pulas sampai puazzzzz!!!!
Setelah bangun...dua orang rekan satu sub unitku itu minta maaf dan menyesal. Mereka prihatin melihat diriku. Dan... mereka tertawa ngakak mendengar ceritaku. Bukan hanya mereka....semua anak di sub unit 1 dan 2 ngakak, ditambah bapak, ibu, mas, dan mbak pondokan, ngakak. NGAKAK SEMUA!!!!!! NGAKAK!!!! :(
Tidak ada komentar:
Posting Komentar