Selasa, 28 Juni 2011

Kekonyolan Taraf Internasional


Legenda kekonyolan hidupku tidak berhenti begitu saja. Kali ini kekonyolan itu menyangkut- nyangkut nama baik Lab, Instansi, Bangsa dan Negara. Hmm..sebut saja kekonyolan taraf internasional.
Sejak bulan ini, ada mahasiswa Jepang yang bergabung di Lab tempatku melakukan riset. Ku pikir dia hanya berkunjung beberapa hari, say hello, tanya- tanya, piknik- piknik, lalu pulanglah dia ke negara asalnya. Maka selama kira- kira satu minggu aku menghilang, tak bertandang ke Lab untuk menghindari perjumpaan dengan si Jepang. Aku tidak mau bertemu bukan karena aku tak suka, namun karena aku sedang mengerem kegilaan ku terhadap Jepang sebab aku memerlukan energi ekstra untuk mengolah cerita berlatar belakang Jawa,(asal tahu saja, aku selalu menggunakan nama dan kebudayaan Jepang dalam cerita bikinanku karena terpengaruh oleh comik). Banggalah diriku karena merasa sudah bisa mengatur strategi untuk menyelamatkan kemurnian otakku.
Sayangnya, tak ada seorang pun anak Lab yang memberitahu ku bahwa Jepang-san itu berencana tinggal, bahkan sampai menyewa ruangan bertarif 1,8jt/bulan di wisma kampus. Melesetlah perkiraanku.
Hari itu, dengan semangat untuk memulai penellitian, dan perasaan aman karena tidak terancam bertemu Jepang-san, aku datang ke Lab dengan senyum cerah ceria tralala hula hula. Siapa yang menyangka bahwa kenyataan tak seindah khayalan.
Aku sedang sibuk membaca tulisan di salah satu jejaring sosial, ketika tiba-tiba ada seseorang masuk menyalakan lampu Lab dan menyapa, "Hallo..." Aku bengong, meski sempat menjawab sapaan itu secara reflek. Lha kok Jepang-san yang muncul? Waduh!
Alarm tanda bahaya sudah berbunyi. Kekonyolan itu pun dimulai.
Gara- gara ada penggunaan komputer tambahan di Lab, colokan kabel yang biasa digunakan Jepang-san jadi terpaksa ngendon di bawah meja. Dia mulai celingak celinguk mencari colokan ajaib itu. Sebagai manusia yang tanggap pada keadaan, akhirnya aku menerangkan pada dia bahwa colokannya harus di tarik keluar dulu. Namun untuk menarik colokan itu keluar, aku harus mematikan sambungan listrik, atau aku akan kesetrum konyol. Artinya, aku harus mematikan komputer yang ku gunakan untuk berjejaring sosial.
Dengan cengiran yang tak berguna, aku bilang, "Sebentar, saya matikan ini dulu."
Dia menatapku dan berusaha bersimpati pada kegiatanku. "Kalo mau pakai dulu, silakan. Saya dua jam saja pakai ini."
"Tidak usah. Ini tidak penting," jawabku sambil menunjuk tampilan jejaring sosial di layar sambil menahan malu. Ketahuan kan di Lab kerjaannya ngapain.
"Oo.......Ya," jawabnya kayak samurai di anime- anime.
Aku kesotan di lantai, berusaha meraih colokan ajaib itu dan berusaha mencabut salah satu kabel yang digunakan untuk komputer tambahan. Ternyata tak semudah bayanganku. Gara- gara ada di bawah meja,kabel itu jadi dua kali lipat lebih susah dicabut. Aku tak dapat membayangkan ada makhluk aneh, besar, kelesotan, dan disaksikan Jepang-san, sedang sekuat tenaga narik kabel. Setelah perjuangan yang cukup memakan tenaga, terbebaslah colokan ajaib itu sehingga bisa dijangkau kabel Laptop Jepang-san.
Aku bernafas lega. Fiuh...selesai deh, tinggal kabur ke museum dan biarlah Jepang-san sendirian. Sayang sekali, lagi-lagi Tuhan menggariskan jalan hudipku menuju arah yang ganjil.
Jepang-san tampak panik. Dia celingak celinguk mencari sesuatu di kolong meja. Aku jadi terbawa suasana melihat kegiatannya dan ikut celingak- celinguk. Cukup dengan tatapan bertanya- tanya, si Jepang sudah mengerti bahwa aku terheran- heran dengan polah tingkahnya.
"Kabel saya tidak ada," katanya.
Hah?! Mampus aku!
Jepang-san langsung tengkurap di atas meja Lab, mencari kabelnya, berharap kabel sialan itu jatuh pada celah antara dinding dan meja. Dia mulai menarik- narik kabel-kabel yang berseliweran di sana. "Mungkin jatuh di sini," katanya lagi.
Aku mengingat- ingat, memang dia selalu meninggalkan dua kabel di meja kerjanya bersamaan satu bendel fotocopy jurnal. Lhah, kemana tu kabel? Kecepatanku menganalisa keadaan menemukan bahwa kabel merah miliknya teronggok di atas meja. Lalu kemana kabel satunya?! Aku mulai panik.
Dia sudah selesai mengobrak- abrik celah dan menarik- narik kabel yang ada. Tampangnya semrawut. Sembari membersihkan tangannya dari debu yang menebal pada celah itu, dia menuduh, "Seseorang ambil. Seseorang curi."
Wadaaaaahh......!!
"Enggak....Enggak..," jawabku setengah histeris, berusaha meyakinkan dia bahwa di Lab kami tak pernah ada kasus pencurian.
Dia mulai heboh, muter- muter ke penjuru Lab mencari kabel sialan itu. Aku tak mau kalah, aku pun segera menarik berbagai macam kabel yang ada di bawah meja komputer. Kredibilitas Lab, Jurusan, Fakultas, dan Bangsaku dipertaruhkan di sini, di hadapan Jepang-san!
"Ada yang ambil. Mungkin dicuri. Seseorang curi," ocehnya tak karuan.
Aku hampir saja berteriak memperingatkannya agar tak menuduh membabi buta, namun tanganku berhasil meraih sebuah kabel dari bawah meja. "Ini?" tanyaku bersemangat, berharap itulah kabel sialan yang dia cari.
"Bukan," jawabnya.
Busyet dah...salah!
Aku tak menyerah, dan berusaha menarik kabel lain. "Ini?"
" Bukan,"jawabnya dengan muka ditekuk- tekuk. " Seseorang ambil kabel saya. Mungkin ada yang ambil."
"Tidak...Tidak...," jawabku ngotot.
Dia muter- muter tidak jelas lagi di penjuru Lab, mencari kabel sialan yang tadi tak berhasil di temukannya. "Seseorang..."
STOP! Bentak ku dalam hati.
"Apa warnanya?" tanya ku tegas. Lebih tepatnya mulai kesal.
"Hitam,"jawabnya mulai putus asa. ( hohoho ku kira warnyanya putih..).
Lalu pikiran logisku memerintahkan aku untuk menelepon seseorang yang mungkin mengetahui dimana kabel sialan itu berada. Sembari menanti sambunganku tersambung, aku menuju ruangan laboran yang terkunci, instingku di sana dapat ku temukan jawabannya.
Sedang sibuk menelepon, aku sempat melihat dirinya. Jepang-san duduk di kursi singgasananya, tampak pasrah dan mulai sok cuek dengan membaca jurnal. Tapi dia sempat- sempatnya ngomong, " Tidak apa- apa, mungkin ada yang curi."
" Tidaaak...Tiiiidaaak.....," jawabku putus asa.
Sambungan terhubung. Segera aku nerocos minta keterangan pada lawan bicaraku di telepon. Tatkala aku berhasil membuka ruang laboran yang terkunci, aku mendapati kabel sialan itu sedang santai- santai nongkrong di atas CPU rusak. "Dah, mba. Udah ketemu," jawabku mengakhiri telepon.
Aku lega sekaligus jengkel. Ku raih kabel sialan itu, lalu segara aku menyodorkannya pada Jepang-san, "This is yours."
Dia langsung menyambar kabel sialan itu, "A!..Terimakasih."
Aku tak menjawab, hanya dengan seringaian tak jelas maknanya yang ku tujukan pada Jepang-san.
Selesailah perjuanganku. Aku tak pernah menyangka, pertama kalinya berinteraksi dengan Jepang-san adalah gara- gara kabel.
Endingnya? Aku masuk museum, mendinginkan kepalaku, kemudian bekerja di sudut Lab yang jaraknya paling jauh dari singgasana Jepang-san. Aku sedikit iri pada adik tingkatku yang hanya nguping di museum mendengarkan dialog aneh itu. Huhuhuhu....kenapa harus ak?? Hweee
T~T

Tidak ada komentar:

Posting Komentar